Hidup adalah piliihan. Ragu
apalagi salah memilih adalah menyia-nyiakan hidup. Tetapi pilihan terkadang
tidaklah sesuai dengan keinginan kita. Malah jauh dari angan-angan. Seakan
takdir mempermainkan hidup padahal karena hidup memang sarat dengan pilihan.
Andai penyesalan datangnya bukan diakhir, tentunya pilihan kita tak akan pernah
salah.
Sebagai seorang wanita yang
mempunyai intelektual diatas rata-rata. Rencana hidup tentunya sudah tertata
rapi. Bahkan aku sudah mempersiapkan rencana hidupku sejak SMA. Apalagi saat
SMA aku adalah siswi termuda yang ada disekolah itu karena aku adalah anak
ekselerasi. Hal itu semakin membuatku bangga pada diriku. Karena aku berprinsip
dunia ada ditangan kita. Aku sudah menyiapkan rencana hidupku mulai dari tempat
kulahku nanti, pekerjaanku dan kriteria calon suamiku. Seiring waktu tingkatan
intelektualku semakin bertambah. Tentu saja kriteria calon suamiku semakin
banyak. Semua orang terdekatkupun tau kriteriaku dalam memilih pendamping
hidupku. Akibatnya, sudah banyak lelaki yang melamar aku tolak mentah-mentah,
sehingga kebanyakan dari mereka malah balik membenciku. Syarat calon pendamping
hidupku diantaranya dia harus bertampang menarik, usia lebih tua dari aku,
pendidikannya harus setara denganku yang bergelar S2, mempunyai pekerjaan yang
menjanjikan, kaya, dari keluarga terpandang dan masih banyak lagi sederet
syarat-syarat lainnya yang kata teman-temanku itu sangat berat bagi laki-laki.
Aku percaya cinta dari lelaki yang memenuhi seluruh kriteriaku pasti akan
datang. Hanya waktu yang akan mempertemukan kami.
Wajar saja bila aku menginginkan
pendamping hidup yang sempurna seperti rencana hidupku. Aku sendiri menurut
teman-temanku cantik, pintar dan dari keluarga terpandang yang cukup taat
beribadah. Jadi syarat itu bukanlah sekedar omang kosong. Karena aku sudah
mempunyai modal akan itu. Walaupun aku terkadang terlalu naïf dalam menilai
diriku sendiri dan hanya melihat dari sisi kelebihanku. Malah sempat aku
berpikir, aku sama sekali tak ada kekurangannya. Selain isu yang beredar dari
teman-temanku aku adalah orang yang pintar, aku adalah orang sombong, angkuh, kurang
ramah dan kurang menghargai karya orang yang intelektualnya berada dibawahku. Waktu
terus bergulir, akhirnya aku menemukan lelaki yang menurutku sempurna dan sudah
memenuhi kriteriaku. Dia adalah seorang politikus. Tentunya mempunyai banyak
uang. Kami akhirnya memutuskan berpacaran setelah aku mengenalnya dua bulan.
Tapi sungguh sayang, harapan hanya tinggal harapan tanpa perwujudan nyata. Cita-cita
boleh setingi langit seindah terangnya bulan dan semeriah gemerlap bintang di
malam hari tapi ingat, bumi yang dipijak ada dibawah. Walaupun aku sangat
mencintai lelaki itu tapi orang tuaku menentang tegas pilihanku. Faktor utama
orang politikus tak dapat dipercaya. Kata ayahku. Aku tak ingin menjadi anak
yang durhaka dengan berat hati aku mulai menghindar dari lelaki politikus itu,
tapi tak ada kata putus antara kami
Saat aku menghadiri Reoni akbar
alumni FKIP unhalu. Sekolahku saat menimbah ilmu dan mendapatkan gelar S1ku
yang mengantarkanku menginjakkan kaki ke Negara orang lain. Saat itu aku bertemu
dengan beberapa lelaki yang pernah aku tolak lamarannya. Mereka datang dengan
menggandeng pasagan mereka. Sebagian dari mereka telah menikah dan mempunyai
anak. Yang paling menyiksaku adalah ada beberapa wanita pasangan mereka yang
kecantikannya lebih dari aku. Tersirat rasa sesal di batinku karena telah
menolaknya. Padahal dia nyatanya bisa mendapatkan wanita yang lebih dari
kecantikanku. Aku melaknat diriku karena terlalu ambisius dengan
kriteria-kriteria bodohku itu. Padahal tak ada manusia yang sempurna. Aku
salami ini mencari cinta yang tak ada dan mengharapkan malaikat menghampiri
hidupku. Mengapa aku baru menyadari kenaifan dalam diriku. Aku juga sangat menyesal
karena bersikap kurang ramah pada laki-laki bahkan sangat sombong. Apalagi pada
laki-laki yang jelas tidak selevel dengan diriku. Aku menganggap mereka seperti
tak ada dalam kehidupanku. Bahkan sempat tersirat dulu, lelaki seperti itu
adalah musibah dalam kehidupan wanita seperti aku. Dulu aku sempat tertarik
dengan profesor muda yang mengajar padaku saat S2 karena dia mendekati
syarat-syaratku, tapi sayang, profesorku itu sudah mempunyai istri yang lebih
cantik dariku.
Rima memutuskan agar kami menyapa
teman-teman seangkatan kami. Rima adalah sahabat sekaligus salah satu teman
kuliahku yang paling dekat denganku. Saat berjalan menghampiri mereka, aku
melihat mereka tertawa begitu lepas tak seperti aku yang selalu menjaga gengsi
jika didepan banyak orang, sekalipun itu teman-temanku. Rasa minderku menggerogoti
jiwaku saat menyapa mereka ternyata Iqbal salah satu lelaki yang berulang kali
mengatakan cintanya padaku ada disitu. Sebenarnya aku tak mempunyai keberanian besar
seperti biasanya jika mengingat sikapku pada Iqbal yang aku tolak mentah-mentah
cintanya, tapi aku berusaha untuk percaya diri. Harga diriku terlalu tinggi
membiarkankan mereka menginjak-nginjakku karena salting (salah tingkah).
“Hai Iqbal” sapa Rima dengan
ramah kepada lelaki itu.
“Ternyata kamu datang juga
disini. Aku pikir pegawai bank Indonesia tidak mempunyai banyak waktu untuk
menghabiskan waktu di acara seperti ini” balas Iqbal dengan nada suara bergurau
sambil menjabat tangan Rima dengan hangat dan bersahabat. Dia memang anak yang
sangat ramah jadi wajar saja mempunyai banyak teman, tak seperti aku. Iqbal
adalah salah satu dari angkatanku yang paling lama menyelesaikan studi tetapi
dia adalah mahasiswa yang sepanjang berdirinya FKIP ini penonton sidang
skiripsinya paling banyak dan hebo. Sebenarnya Iqbal bukannya bodoh sehingga
lama menyelesaikan S1nya, hanya saja dia sangat sibuk dengan kegiatan-kegiatan
dalam kampus dan luar kampusnyna.
“Wow ternyata kamu datang bersama
serjana termuda lulusan Prancis. Saya jadi malu. Sementara aku baru lulus S1, tau-tau
si Assifa sudah mendapatkan gelar Magisternya. Hebat bukan” kata Iqbal menekan
suaranya pada kata terakhirnya. Aku kurang menyukai pujiannya. “Dia memang
sangat pintar. Aku dengar-dengar kamu sedang di tawari bekerja diperusahaan
asing di Jakarta, selamat yah. Hidupmu memang sempurna tak seperti aku” katanya
menekan kata-kata terakhirnya lagi. Aku muak mendengarnya. Aku hanya tersenyum
manis menatapnya. Aku berprinsip bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang dapat
tertawa disaat hatinya marah dan menangis.
“Eehm… aku pikir sang primadona
lulusan Prancis ini tak ingat lagi dengan teman seperjuangannya. Yah setelah mendahului
kita menyelesaikan kuliah dalam waktu 3 tahun 3 bulan, aku pikir kita tak akan
perna bertemu lagi. Serasah mimpi bertemu lagi denganmu” tambah Iqbal.
lagi-lagi lelaki itu menekan suaranya pada kata-kata terakhirnya. Telingaku
benar-benar tak tahan lagi. Aku bukanlah gadis yang sabar. Apalagi ini
menyangkut harga diriku.
“Kamu terlalu berlebihan. Biasa
saja kok, jadi tidak perlu bersikap seperti itu. Terkadang pikiran kita tentang
seseorang itu tak seperti kenyataannya. Untuk itu ada pepetah mengatakan jangan
lihat orang dari luarnya” kataku dengan senyum menahan rasa marahku dan menahan
tangisku dihati karena penilaian lelaki itu begitu keji. “Sehebat apapun
orang tentunya masa lalunya juga
mempunyai peran yang besar mengantarkan kita sukses. Sekuat tenaga kita ingin
melupakan masa lalu, tak dapat dipungkiri peranannya dihidup kita sangat besar,
jadi mana mungkin aku melupakan masa lalu aku, yang secara tidak langsung masa
lalu itu adalah bagian dari masa depan kita. Bukankah begitu ?”
Lelaki itu hanya diam menatapku.
Aku tau jika aku lelaki mungkin dia sudah menonjok mukaku, sayangnya aku adalah
wanita. Selain itu, aku juga adalah wanita yang perna dia cintai dan dari
matanya yang bersinar saat melihatku tadi, dapat aku lihat rasa cintanya belum
surut. Bukannya aku kepedean hanya saja sinar matanya sama dengan semua lelaki
yang menyukaiku, saat mereka menatapku.
“Oh yah aku hampir lupa aku
sangat senang bisa bertemu denganmu lagi dan juga terima kasih karena kamu mau
menjadi pendengar setia keadaanku, sampai-sampai kamu sepertinya lebih tau
tentang aku ketimbang yang lainnya. Sampai jumpa lain waktu lagi aku kesana
dulu menyapa yang lain” kataku meninggalkan Iqbal dan temanku yang lainnya
dengan tutupan percakapan yang sempurna. Aku merasa puas dapat menutupi
kerapuanku didepan lelaki itu.
Hampir 3 bulan aku berada di
kendari. Hatiku mulai resa. Orang tuaku mau menjodokanku dengan lelaki pilihan
mereka. Itu sungguh diluar rencana hidupku. Aku tak menerima begitu saja mereka
ikut campur dalam kehidupanku, terutama dalam hal pendamping hidup. Mati-matian
aku tentang niat mereka.
“Ogah aku bu. Aku bisa cari
sendiri pendamping hidup. Seperti orang tak laku saja di jodohkan” kataku pada
ibuku yang sedang nonton sinetron.
“Assifa….Assifa yang bilang kamu
tak laku siapa. Ibu hanya tak mau kamu itu salah pilih. Selama ini ayah dan ibu
membiarkan kamu memutuskan semua sendiri tapi masalah pendamping hidup
biarkanlah ibu yang memilihkannya, pasti memuaskan” kata ibuku menarikku duduk
disampingnya lalu mengelus-ngeluls rambut panjangku yang selama ini tertutupi
jilbabku jika diluar rumah.
“Pokoknya saya tidak mau
dijodohkan”
“Kenapa”
Aku hanya diam.
“Kalau mau menolak yah harus
punya alasan jangan asalan saja”
“Bu mana bisa aku hidup dengan
lelaki yang tidak aku cintai, yang ada belum lama nikah kami bercerai, apa ibu
mau seperti itu.”
Ibuku tersenyum mendengar
perkataanku. “Ibu juga dulu menikah dengan ayahmu tak pake acara cinta-cintaan terlebih
dulu. Kami juga dijodohkan. Buktinya sampai sekarang ayah ibumu ini masih hidup
bersama, malah sudah mempunyai 3 orang anak, yang pertama kamu, adikmu Iga lalu
si bungsu Anjas. Bukankah itu sudah bisa dibilang keluarga yang harmonis?” tanya
ibuku.
Aku jadi kesal.
Aku beranjak pergi meninggalkan ibuku masuk kedalam kamarku. Dari luar kamar
aku mendengar ibuku berkata “Kalau masalah cinta bisa tumbuh saat kamu sudah
menikah nanti jadi jangan takut”. Dengan jengkel aku tutup telingaku dengan
bantal agar tak mendengar kata-kata ibuku lagi.
Setahun sudah aku dapat menahan
paksaan orang tuaku untuk menjodohkanku dengan lelaki yang tak aku cintai. Tapi
hari ini batinku terkoyak. Seperti pepetah mengatakan sekeras apapun karang dia
tetap akan terkikis sedikit demi sedikit dengan ombak laut. Aku tak bisa
berkata apa-apa lagi ketika ayahku jatuh pingsan karena jantungan akibat
diriku. Peristiwa itu terjadi saat ayah baru pulang kerja. Tanpa memikirkan
kelelahannya mengajar di kampus seharian aku langsung mencercahnya dengan
amarahku. Saat itu aku benar-benar sangat benci pada orang tuaku. Mereka tau
aku menentang perjodohan itu, tapi ternyata dibelakangku mereka sudah
mempersiapkan acara pernikahanku ketika lelaki itu selesai pendidikannya. Pada
saat aku bertengkar dengan ayahku, aku sama sekali tak mengetahui ayahku
akhir-akhir ini penyakit jantungannya sering kumat.
“Apa sebenarnya mau ayah. Kalian
tau sendiri aku tak mau dijodohkan lanntas mengapa masih dipaksa. Aku ini
bukanlah anak kecil, tak dapatkah kalian membiarkan aku mengatur hidupku tanpa
campur tangan kalian”.
Ayahku hanya diam dan masuk ke
ruang kerjanya. Aku mengikutinya dengnan amarah tak terkontrol. Dibelakangnya.
“Ayah mengapa kalian tak bisa
mengerti ke inginanku. Kalian hanya memikirkan kemauan kalian. Saya benar-benar
tak dapat mengerti dengan jalan pikiran ayah”
Ayahku tetap diam.
“Mengapa ayah hanya diam” tanyaku
dengan jengkel.
“Ayah bingung berbicara dengan
lulusan prancis yang tak menutup kemungkinan kau lebih pintar dari aku”. Hanya
itu yang keluar dari bibir ayahku, lalu dia tersenyum menatapku sambil
melenggorkan ditempat duduknya.
Aku merasa ayahku meremehkanku. Aku
sangat benci dengan perkataan orang-orang yang selalu mengaitkan tempat
sekolahku dengan diriku. Entah setan apa yang merasuki jiwaku. Pikianku menjadi
kabur tak tau apa yang aku lakukan dan kata-kata yang tak pantas dari mulut
seorang anak tertutur manis dari mulutku begitu saja hingga memukul telak ke
ulu hati ayahku. Ayahkupun geram dan untuk pertama kalinya beliau menamparku.
Air mataku terjatuh bagai hujan, rasanyna sakit hatiku lebih perih dibandingkan
tamparan keras ayahku yang membuat pipihku yang putiih bersih itu merah
bagaikan kepeting rebus. Seketika itu pula ayahku jatuh pingsan karena serangan
jantung. Ibu dan saudara-saudaraku. Aku sangat takut dan gemetaran memeluk
ayahku. Rasa bersalah sangat menghantuiku. Aku sungguh tak dapat memaafkan
diriku sendiri jika sesuatu terjadi pada ayahku. Aku baru dapat berhenti
menangis ketika ayahku sadar setelah satu hari tak sadarkan diri.
Keluargaku mulai silih berganti
datang menjenguk ayahku. Ibu sama sekali tak menceritakan pada mereka ayahku
sakit karena aku. Memang seperti itulah keluargaku yang tak suka masalah
keluarga diberi tau orang lain. Aku sangat merasa bersalah kepada ayahku, aku
sangat takut masuk kedalam kamar rawat dan hanya melihat mereka dari pintu
saja. Saat semua keluargaku pulang, sekitar jam 8 malam ibuku berpamitan untuk
pulang sebentar mengambil baju dan mengantar kedua adikku pulang. Akhirnya aku
yang disuruh menemani ayahku didalam. Aku menghampiri ayahku yang sedang
tertidur dengan penuh rasa bersalah. Akupun menjatuhkan air mata saat memengang
tangannya.
“Maafkan aku ayah”
“Kamu tak perlu meminta maaf, semua
ini terjadi karena memang sudah waktunya ayahmu in sakit” katanya sambil
mengelus kepalaku dengan tanganya.
Aku sangat kaget
mengetahui ayahku tebangun. Rasa bersalah membuatku takut bertemu dan menatap
matanya.
Aku hanya diam menangis. Sambil
memeluk ayahku.
“Masalah perjodohanmu tak perlu
kau pikirkan lagi, sekarang”
Dengan cepat aku memotong bicara
ayahku “Masalah perjodohan itu aku patuh pada ayah”. Mendengar itu ayahku hanya
tersenyum menatapku.
Ditengah obrolan
kami, tiba-tiba suara dering handphone milikku berbunyi. Terpampang dilayarnya
mas zulfahmi memanggil. Aku memutuskan untuk mengangkatnya, takutnya jika tak
aku angkat ayahku akan bertanya mengapa tak diangkat. Saat ayahku sedang
dirawat, tak ada yang tau aku bertemu dengan mas Zulfahmi si politikus itu di
Rumah sakit. Tak dapat pungkiri aku memang masih memiliki rasa ketertarikan
padanya dan setan berhasil masuk ke dalam pikiranku sehingga muncullah
pemikiran untuk melanjutkan hubungan kami, padahal aku sudah mengatakan
menerima perjodohan yang diatur ayahku. Hasilnya hubungan kami ibarat bermain petak
umpet menghindari keluargaku.
Cinta telah menerbangkanku dalam
angan tanpa batas. Dunia yang dulu begitu indah kini hanya fatamorgana yang
kudapat. Angin spoy-spoy basah yang kunikmati ternyata menyimpan serbuan hujan
deras yang hendak menikamku. Aku terbakar cinta buta, hatiku hangus, impianku
musna. Cinta tinggal puing-puing dan keindahannya berubah menjadi kenistaan
yang menyisakan luka dan malu yang mendalam dihati.
Sebagai seorang wanita yang tengah
dimabuk asmara aku melupakan larangan orang tuaku untuk berhubungan dengan mas
Zulfahmi. Malah secara diam-diam aku menerima lamaran lelaki itu walaupun tanpa
persetujuan orang tuaku. Aku tau tindakanku ini akan menyakiti hati orang
tuaku. Untuk itu minggu pagi ini aku bermaksud untuk mengatakan semuanya kepada
orang tuaku. Aku tak ingin mereka tau dari orang lain mengenai hubunganku
dengan lelaki itu. Tetapi, rencana hanyalah rencana dan Allah yang menentukannya.
Kini Allah menentukan bahwa rahasia itu mereka tau dari seorang wanita yang
usianya jauh lebih tua dariku yang datang kerumah pagi ini.
Bagaikan tersambar petir orang
tuaku shock mendengar dari mulut wanita itu bahwa aku berhubungan dengan mas
Zulfami. Aku pun tak kalah shocknya ketika wanita itu menampar wajahku dua kali
dengan sangat keras. Tak sempat melampiaskan kemaran, rasa bingung yang
tersirat dari wajahku karena mendapat tamparan mendadak itu terjawab sudah saat
wanita itu mengatakan dia adalah istri sah mas Zulfahmi yang hendak lelaki itu
ceraikan karena aku. Badai tengah berpihak kepadaku.langit pun kian mendung
seolah mengerti apa yang ada di dadaku. Pagi ini hujan lebat turun membasahi
bumi seolah mengerti pilunya hatiku. Kilat di luar rumah seolah menyambar
keluargaku. Rasanya baru kali ini aku merasakan beban yang teramat berat. Aku
sangat shock dan hampir pingsan. Jikalau tak ada ibuku yang menghalangi tangan
wanita itu mungkin dia sudah menarik jilbabku dan meramas wajah yang selalu
kubanggakan. Ayahku menjadi perelai perkelahian mulut antara ibuku dan wanita
itu. Karena suara mereka sangat keras, para tetangga datang berhuyun-huyun
kerumah namun berhasil di atasi oleh ayah dan saudara-saudaraku sehingga tidak
mengetahui persis duduk permasalahn interen keluarga kami.
Tidak ada gading yang tak retak.
Tidak ada jalan yang tak berkelok. Tidak ada laut yang tak bertepi. Begitu pula
aku anak manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Tak ada niat untuk
mengecewakan siapapun. Saat ini aku merasa semua ilmu yang kutimbah tak ada
guna. Dengan susah payah Ayahku berhasil mendudukkan kami dalam satu ruangan
dengan kepala dingin. Aku tak henti menangis dipelukkan ibuku. Rasanya aku
ingin membunuh lelaki itu karena telah membahongiku dan hampir saja aku masuk
dalam lobong siasat muslihatnya. Sejujurnya aku juga sangat bersyukur kepada
Allah karena mendatangkan wanita ini kepadaku untuk membuka mataku dari cinta
buta, walaupun dengan cara yang menyakitkan. Hanya saja aku tak begitu
menyalahkannya karena wanita manapun tak ingin dikhiyanati.
Setelah hampir sejam kami
berbicara akhirnya keputusan yang keluargaku ambil, menjamin aku dan lelalki
itu tak akan ada hubungan apa-apa lagi dan ayahku sendiri yang akan memnjadi
jaminannya. Rasa unek-unekku yang terus disalahkan juga telah aku luapkan tadi.
Kukatakan pada mereka bahwa mas Zulfahmi sendiri yang mengatakan dia itu
lajang. Wanita itu telah pulang setelah yakin bahwa keberadaanku tidaklah
mengganggu posisinya sebagai istri lelaki itu. Saat wanita itu telah tiada aku
pikir orang tuaku akan memerahiku, ternyata di luar dugaanku ayah ibuku memelukku
dengan penuh kasih sayang. Tak dapat di pungkiri bahwa ayahku kecewa kepadaku
karena telah membohonginya dengan berpura-pura didepannya selama ini aku telah
putus hubungan dengan lelaki itu.
Setahun sudah pristiwa itu
terjadi. Semua telah terlupakan. Aku mulai menyetuhkan kembali akal sehatku.
Badai di batinku telah reda. Aku tak ingin setan merasuki jiwaku lagi, hingga
membuat aku menjadi manusia yang rugi. Aku sadar ini yang terbaik bagikku.
Tepat dihari ini umurku pas 24 tahun. Setelah kepulanganku ke kampung halaman 2
tahun yang lalu, aku hanya menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tak
bermanfaat yang mendatangkan musibah tak terduga, hingga mengakibatkan aku lupa
dengan surat panggilan kerja keperusahan asing yang ada di Jakarta. Padahal aku
sudah capek-capek menyempatkan diri singgah menyetor berkasku saat pulang dari
Prancis. Mungkin memang bukan rezekiku untuk mencari nafkah di tempat itu.
Ternyata Allah memberikanku rezeki dengan cara menjadi dosen di fakultasku FKIP
jurusan bahasa inggris. Hari ini adalah hari pertamaku mengajar di fakultasku
itu.
Malam ini aku tak bisa tidur. Aku memikirkan
acara pelamaranku besok. Aku bimbang harus bersikap bagaimana terhadap calon
suami pilihan orang tuaku itu jika besok dia datang. Kasur empukku ini tak terasa
nyaman, aku terus membolak-balikkan badan dengan gelisah. Hari yang
dinanti-nanti oleh keluarga besarku datang. Sekitar pukul 9 keluarga lelaki
datang, mereka menggunakan mobil kijang sebanyak 2 kendaraan.
Saat berdiri dari tempat duduk
kami untuk menyambut keluarga laki-laki yang datang, aku melihat Iqbal berada
diantara rombongan menggunakan batik. Sempat kulihat wajahnya jauh lebih tampan
setelah terakhir kali bertemu dengannya saat reoni dulu. Lelaki itu berjalan
berdampingan dengan wanita berjilbab coklat yang menggandeng tangannya dengan
mesra. Wanita itu sangat cantik dan dia jauh lebih mudah dari aku. Pastinya itu
adalah istrinya karena dari info yang kudapat dari teman-teman kami, lelaki itu
setelah aktif dalam kajian dan tak mungkin wanita itu pacarnya, lagian seingatku
pula dari Rima bahwa Iqbal tak berpacaran sama siapa pun setelah kutolak
mentah-mentah cintanya. Seakan aku bermimpi ketika ternyata lelaki yang hendak
meminangku adalah orang yang jauh dari perkiraanku selama ini. Hatiku seakan
mati rasa menerima kenyataan ini. Aku ingin memberontak. Mana mungkin lelaki yang
jauh dari kriteria-kriteria yang selama ini aku pertahankan akan menjadi
pendamping hidupku. Ini benar-benar musibah dan petaka bagiku. Tak terbayangkan
aku akan menghabiskan sisi hidupku dengan lelaki seperti dia. Aku tak habis
mengerti mengapa orang tuaku menyukai lelaki model dia. Padahal menurutku dia
sama sekali tak mempunyai satu hal pun yang dapat dibanggakan.
Takdir Allah adalah misteri
terbesar dalam hidup ini. Siapa yang sangkah Iqbal adalah suamiku. Jika tak aku
pikir orang tuaku mungkin saat pelamaran dulu aku tolak mentah-mentah lelaki
itu seperti halnya ku tolak cintanya saat masih kuliah dulu. Menjelang dan
setelah pernikahan kami, aku merasa hidup dalam neraka. Untuk menghindari malam
pertamaku dengan lelaki itu, aku sengaja saat prosesi pernikahan, aku sama
sekali tak makan, akibatnya saat ini aku berbaring dirumah sakit tak berdaya karena
penyakit magku kambuh kembali. Aku sangat puas melihat lelaki itu kalang kabut
dan sangat khawatir melihatku sakit. Apalagi aku sama sekali tak mau makan
apapun, itu semakin membuatnya bingung. Bahkan sempat bubur yang dia berikan
padaku saat makan siang, aku buang kelantai tanpa sedikitpun memperdulikan
perasaannya. Walaupun keberadaannya sama sekali tak aku pedulikan, lelaki itu
sama sekali tidak mempermasalahkan bahkan dia terus menjagaku siang dan malam. Bukannya
semakin hari aku sehat, tetapi semakin hari aku lemas dan tak berdaya. Sempat
aku pikir dia akn marah ternyata dia hanya tersenyum padaku lalu mengelus
kepalaku dan berkata “Nanti aku ambilkan lagi yah?”. Saat ini yang ada
dipikiranku adalah mati saja ketimbang hidup dengan lelaki seperti dia, yang
penting aku sudah memenuhi permintaan orang tuaku untuk menikah dengannya.
Selama dua minggu aku dirawat
dirumah sakit, akhirnya aku minta pulang. Karena kondisiku yang masih lemah
tentu saja dokter dan suamiku tidak mengizinkannya. Namun, sekeras apapun
mereka tentu saja akhirnya karena aku ngotot hari ini aku pulang dirumah orang
tuaku. Pernikahanku telah mengubah sikapku yang lemah lembut menjadi kasar,
terutama kepada suamiku. Sampai detik ini aku belum kenjung sembuh. Saat aku
sedang berbaring membaca buku, sempat kulilrik jam dinding menunjukkan pukul 11
malam suamiku baru pulang. Ketika dia masuk kekamar, aku berpura-pura tidur.
Kurasakan dia duduk disampingku dan memegang jidatku merasakan panas badanku.
Lelaki itu kemudian memegang tanganku dan mengecupnya.
“Jika karena aku, kamu sakit
seperti ini, aku rela kita berpisah, asalkan kamu dapat sehat seperti dulu. Aku
rela berbuat apa saja demi dirimu sekalipun rasanya berat aku lakukan dan
tindakanku ini sangat dibenci Allah. Namun jika memang hanya dengan cara
seperti itu dapat membuatmu kembali seperti dulu, aku rela melepaskanmu, yang
penting dapat membuat tersenyum kembali”. Kata suamiku dengan suara yang sangat
pelan seperti berbisik ditelingaku. “Mungkin kita memang tak jodoh”. Setelah
memperbaiki letak selimutku, dia keluar kamar. Entah mengapa aku merasakan perih
jauh dilubuk hatiku paling dalam saat mendengar perkataannyan tadi. Padahal
bukankah itu yang aku inginkan?.
Hampir menjelang Sembilan bulan pernikahanku,
aku sudah lelah mencerca bahkan menghina suamiku. Bahwkan aku capek dengan
sikap kerasku terhadapnya. Aku kini mulai lunak, sikapkupun sudah kembali
seperti dulu walaupun aku masih murung, namun yang paling melegakan suami dan
keluargaku karena aku sudah sembuh dari sakit. Dalam kegelapan hatiku terhadap
suamiku tanpa sadar, sedikit demi sedikit aku mulai mulai membuka mata dan
hatiku. Apalagi setelah mendengar dari polisi, bekas pacarku dulu, kini seorang
buronan yang tengah diburu polisi karena kasus karupsi. Untung saja aku bukan
lagi pacarnya ataupun istrinya sehingga tidak ikut bertanggung jawab atas
tindakannya.
Aku mulai mengakui lelaki pilihan
orang tuaku adalah lelaki terbaik yang ada didunia. Dia adalah mutiara yang tak
ternilai harganya. Mutiara yang semakin digosok mutiara itu semakin memancarkan
cahayanya. Sembilan bulan lamanya aku mencampakannya bahkan tak menganggapnya
ada dalam hidupku, tapi tak pernah menunjukkan sikap frustasi dan jenuh. Begitu
sabar dan tetap tersenyum menghadapiku yang tak pernah tersenyum kepadanya. Hal
yang paling membuatku kagum selama ini kepadanya adalah dia tak pernah marah
kepadaku. Pribadinya yang dewasa telah meluluhkanku. Kini aku sangat
mengaguminya juga berterima kasih kepada orang tuaku.
Untuk pertama kalinya, selam
pernikahan kami saat suamiku sedang pergi sholat subuh. Setelah aku sholat
subuh, aku menyetrikan baju kantornya. Tak lupa akupun memasakkan bubur kajang
ijo untuknya. Seluruh isi rumahku tak mempercayai perubahan terbesarku ini.
Saat suamiku hendak berangkat kekantor, aku masuk kekamar lalu menghampirinya
dan mengancingkan bajunya dengan rapi. Untuk pertama kalinya aku tersenyum
padanya.
“Semoga kamu selalu berada dalam
lindungan Allah SWT” kataku dengan suara yang lembut kepadanya. “Terima kasih
atas sikapmu selama ini kepadaku, aku sangat bahagia ketika kamu…..” belum
sempat aku melanjutkan perkataanku, suamiku sudah memotongnya.
“Aku sangat
senang melihatmu seperti ini, setidaknya sebelum benar-benar kita berpisah, aku
mendapatkan kenangan yang paling indah dalam hidupku”
Aku terdiam.
Ingatanku melambung saat suamiku berkata sesuatu yang membuat hatiku perih saat
aku sedang sakit dulu.
“Jika kamu mau
saat ini aku dapat menalakmu dan masalah keluarga kita, biarlah aku yang
menjelaskan pada mereka. Kamu tak perlu khawatirkan itu”.
“Tapi aku”
“Sudahlah semua
akan baik-baik saja. Aku rela melepaskanmu” katanya sambil meletakkan jari
manisnya kebibirku, dia pun melerik arlojinya.
“Aku harus pergi
sekarang” katanya setelah mengucapkan salam dia lalu pergi tanpa membiarkan aku
berkata apapun padanya.
Hatiku begitu perih. Laksana
beribu tombak yang menghujamnya. Aku pun menangis sejadi-jadinya di atas tempat
tidur. ‘Mana mungkin ini terjadi padaku, setelah aku mulai mencintainya, dia
akan pergi meninggalkan aku’. Pikirku. Ditengah kegundahan hatiku, diri luar
kamarku ibuku mengetok-ngetok pintu kamar dengan keras, hingga mengagetkan aku.
Belum sempat berkata apa-apa, ibuku menjelaskan bahwa suamiku tabrakan
disimpangan dekat rumah. Saat sampai di tempat kejadian. Aku melihat suamiku
berbaring dibopongan orang yang mau memasukkannya kedalam mobil angkot. Aku
berlari secepatnya, hingga terkadang aku terjatuh dijalan raya. Akhirnya aku
bisa memeluk suamiku yang penuh darah.
“Aku mohon sadarlah, aku tak
ingin kamu pergi meninggalkan aku” kataku ditengah hujan air mataku dan
kecepatan laju angkot yang membawanya kerumah sakit. Sempat tersirat dibenakku
bahwa Allah tak memberiku waktu untuk menebus dosaku yang begitu banyak
kepadanya. Saat sampai dirumah sakit hampir dua jam dia berada di ruang UGD.
Rasanya aku tak mampu berpijak lagi saat kudengar kata dokter ternyata suamiku
keadaannya sangat kritis. Pandanganku menjadi kabur. Aku berusaha keras untuk
bertahan, namun rasanya semakin gelap gulita!.
Satu hari satu malam aku tak
sadarkan diri. Ketika aku sadar, seluruh keluargaku ada disampingku. Kecuali suamiku.
“Ibu! iqbal mana? Dia baik-baik sajakan”tanyaku dengan suara yang sangat lemah.
Dipelepuk mataku air mataku terus berderai.
“Dia sudah tenang
nak, kamu tak perlu mengkhawatirkannya. Sekarang dia sudah beristirahat” kata
ibuku memaksakan senyumannya padaku.
“Syukurlah”
kataku dengan legah. Namun aku mulai menegerutkan alisku. “Tapi mengapa kalian
semua ada disini? Siapa yang menjaga Iqbal? Dia pasti kesepian? Jika ada Sesutu
yang dia butuhkan siapa yang akan membantunya?” kataku panik. “Tenanglah nak!
Sekarang dia sudah sangat tenang dan diapun sudah ada yang menemaninya. Yang
penting sekarang kamu sembuh” Kata ayahku. Aku melihat saudara-saudaraku
menangis melihatku. Aku mulai panik. Entah aku merasa ada Sesuatu yang mereka
sembunyikan dariku. Aku pun bangkit dari tempat tidur. Sekeras apapun mereka
melarangku, bahkan sempat suster mau menyuntikkan obat penenang padaku namun
berhasil aku jatuhkan alat suntiknya.
Entah suamiku ada dikamar apa. Satu
persatu aku masuki. Tak aku temukan. Ibuku datang memelukku dari belakang dan
menghentikan langkahku. “Berhentilah nak! Suamimu tak ada disini?”
“Lalu dimana Bu?
Apakah ibu memindahkannya ke rumah sakit lain? Kalau begitu, ayo kita kesana”
“Dia tak ada di
rumah sakit manapun karena suamimu sudah meninggal”. Terasa tersambar petir
akupun langsung jatuh pingsan mendengar kata Ayahku.
Dua tahun setelah meninggalnya
suamiku. Aku tak menikah sama siapapun dan tak ingin menikah lagi. Setahun
lalu, aku hidup dengan penuh rasa bersalah bahkan sama dengan mayat hidup.
Namun kini tidak. Aku selalu merasakan suamiku ada disampingku kapanpun aku
membutuhkannya saat sedih dan senang, dia selalu ada menguatkanku menghadapi
kehidupan ini. Aku tak peduli orang mengatakan aku hidup dalam imajinasi tapi
itulah yang aku rasa. Tiap mimpi-mimpiku pun aku selalu bertemu dengannya. Aku
kini pasrah dengan takdir Allah. Manusia boleh saja berencana, besok mau apa.
Tapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan apa yang direncanakan itu
sukses atau sesuai harapan. Hari esok atau masa depan adalah rahasia illahi,
tak seorangpun tau, hanya Allah SWT. Yang maha mengetahui segalanya. {THE AND}