Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Translate

Follow

Cari Blog Ini

RSS

About

Ku cari cinta yang tak ada

Hidup adalah piliihan. Ragu apalagi salah memilih adalah menyia-nyiakan hidup. Tetapi pilihan terkadang tidaklah sesuai dengan keinginan kita. Malah jauh dari angan-angan. Seakan takdir mempermainkan hidup padahal karena hidup memang sarat dengan pilihan. Andai penyesalan datangnya bukan diakhir, tentunya pilihan kita tak akan pernah salah. 

Sebagai seorang wanita yang mempunyai intelektual diatas rata-rata. Rencana hidup tentunya sudah tertata rapi. Bahkan aku sudah mempersiapkan rencana hidupku sejak SMA. Apalagi saat SMA aku adalah siswi termuda yang ada disekolah itu karena aku adalah anak ekselerasi. Hal itu semakin membuatku bangga pada diriku. Karena aku berprinsip dunia ada ditangan kita. Aku sudah menyiapkan rencana hidupku mulai dari tempat kulahku nanti, pekerjaanku dan kriteria calon suamiku. Seiring waktu tingkatan intelektualku semakin bertambah. Tentu saja kriteria calon suamiku semakin banyak. Semua orang terdekatkupun tau kriteriaku dalam memilih pendamping hidupku. Akibatnya, sudah banyak lelaki yang melamar aku tolak mentah-mentah, sehingga kebanyakan dari mereka malah balik membenciku. Syarat calon pendamping hidupku diantaranya dia harus bertampang menarik, usia lebih tua dari aku, pendidikannya harus setara denganku yang bergelar S2, mempunyai pekerjaan yang menjanjikan, kaya, dari keluarga terpandang dan masih banyak lagi sederet syarat-syarat lainnya yang kata teman-temanku itu sangat berat bagi laki-laki. Aku percaya cinta dari lelaki yang memenuhi seluruh kriteriaku pasti akan datang. Hanya waktu yang akan mempertemukan kami. 

Wajar saja bila aku menginginkan pendamping hidup yang sempurna seperti rencana hidupku. Aku sendiri menurut teman-temanku cantik, pintar dan dari keluarga terpandang yang cukup taat beribadah. Jadi syarat itu bukanlah sekedar omang kosong. Karena aku sudah mempunyai modal akan itu. Walaupun aku terkadang terlalu naïf dalam menilai diriku sendiri dan hanya melihat dari sisi kelebihanku. Malah sempat aku berpikir, aku sama sekali tak ada kekurangannya. Selain isu yang beredar dari teman-temanku aku adalah orang yang pintar, aku adalah orang sombong, angkuh, kurang ramah dan kurang menghargai karya orang yang intelektualnya berada dibawahku. Waktu terus bergulir, akhirnya aku menemukan lelaki yang menurutku sempurna dan sudah memenuhi kriteriaku. Dia adalah seorang politikus. Tentunya mempunyai banyak uang. Kami akhirnya memutuskan berpacaran setelah aku mengenalnya dua bulan. Tapi sungguh sayang, harapan hanya tinggal harapan tanpa perwujudan nyata. Cita-cita boleh setingi langit seindah terangnya bulan dan semeriah gemerlap bintang di malam hari tapi ingat, bumi yang dipijak ada dibawah. Walaupun aku sangat mencintai lelaki itu tapi orang tuaku menentang tegas pilihanku. Faktor utama orang politikus tak dapat dipercaya. Kata ayahku. Aku tak ingin menjadi anak yang durhaka dengan berat hati aku mulai menghindar dari lelaki politikus itu, tapi tak ada kata putus antara kami 

Saat aku menghadiri Reoni akbar alumni FKIP unhalu. Sekolahku saat menimbah ilmu dan mendapatkan gelar S1ku yang mengantarkanku menginjakkan kaki ke Negara orang lain. Saat itu aku bertemu dengan beberapa lelaki yang pernah aku tolak lamarannya. Mereka datang dengan menggandeng pasagan mereka. Sebagian dari mereka telah menikah dan mempunyai anak. Yang paling menyiksaku adalah ada beberapa wanita pasangan mereka yang kecantikannya lebih dari aku. Tersirat rasa sesal di batinku karena telah menolaknya. Padahal dia nyatanya bisa mendapatkan wanita yang lebih dari kecantikanku. Aku melaknat diriku karena terlalu ambisius dengan kriteria-kriteria bodohku itu. Padahal tak ada manusia yang sempurna. Aku salami ini mencari cinta yang tak ada dan mengharapkan malaikat menghampiri hidupku. Mengapa aku baru menyadari kenaifan dalam diriku. Aku juga sangat menyesal karena bersikap kurang ramah pada laki-laki bahkan sangat sombong. Apalagi pada laki-laki yang jelas tidak selevel dengan diriku. Aku menganggap mereka seperti tak ada dalam kehidupanku. Bahkan sempat tersirat dulu, lelaki seperti itu adalah musibah dalam kehidupan wanita seperti aku. Dulu aku sempat tertarik dengan profesor muda yang mengajar padaku saat S2 karena dia mendekati syarat-syaratku, tapi sayang, profesorku itu sudah mempunyai istri yang lebih cantik dariku.
Rima memutuskan agar kami menyapa teman-teman seangkatan kami. Rima adalah sahabat sekaligus salah satu teman kuliahku yang paling dekat denganku. Saat berjalan menghampiri mereka, aku melihat mereka tertawa begitu lepas tak seperti aku yang selalu menjaga gengsi jika didepan banyak orang, sekalipun itu teman-temanku. Rasa minderku menggerogoti jiwaku saat menyapa mereka ternyata Iqbal salah satu lelaki yang berulang kali mengatakan cintanya padaku ada disitu. Sebenarnya aku tak mempunyai keberanian besar seperti biasanya jika mengingat sikapku pada Iqbal yang aku tolak mentah-mentah cintanya, tapi aku berusaha untuk percaya diri. Harga diriku terlalu tinggi membiarkankan mereka menginjak-nginjakku karena salting (salah tingkah).
“Hai Iqbal” sapa Rima dengan ramah kepada lelaki itu.
“Ternyata kamu datang juga disini. Aku pikir pegawai bank Indonesia tidak mempunyai banyak waktu untuk menghabiskan waktu di acara seperti ini” balas Iqbal dengan nada suara bergurau sambil menjabat tangan Rima dengan hangat dan bersahabat. Dia memang anak yang sangat ramah jadi wajar saja mempunyai banyak teman, tak seperti aku. Iqbal adalah salah satu dari angkatanku yang paling lama menyelesaikan studi tetapi dia adalah mahasiswa yang sepanjang berdirinya FKIP ini penonton sidang skiripsinya paling banyak dan hebo. Sebenarnya Iqbal bukannya bodoh sehingga lama menyelesaikan S1nya, hanya saja dia sangat sibuk dengan kegiatan-kegiatan dalam kampus dan luar kampusnyna.
“Wow ternyata kamu datang bersama serjana termuda lulusan Prancis. Saya jadi malu. Sementara aku baru lulus S1, tau-tau si Assifa sudah mendapatkan gelar Magisternya. Hebat bukan” kata Iqbal menekan suaranya pada kata terakhirnya. Aku kurang menyukai pujiannya. “Dia memang sangat pintar. Aku dengar-dengar kamu sedang di tawari bekerja diperusahaan asing di Jakarta, selamat yah. Hidupmu memang sempurna tak seperti aku” katanya menekan kata-kata terakhirnya lagi. Aku muak mendengarnya. Aku hanya tersenyum manis menatapnya. Aku berprinsip bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang dapat tertawa disaat hatinya marah dan menangis.
“Eehm… aku pikir sang primadona lulusan Prancis ini tak ingat lagi dengan teman seperjuangannya. Yah setelah mendahului kita menyelesaikan kuliah dalam waktu 3 tahun 3 bulan, aku pikir kita tak akan perna bertemu lagi. Serasah mimpi bertemu lagi denganmu” tambah Iqbal. lagi-lagi lelaki itu menekan suaranya pada kata-kata terakhirnya. Telingaku benar-benar tak tahan lagi. Aku bukanlah gadis yang sabar. Apalagi ini menyangkut harga diriku.
“Kamu terlalu berlebihan. Biasa saja kok, jadi tidak perlu bersikap seperti itu. Terkadang pikiran kita tentang seseorang itu tak seperti kenyataannya. Untuk itu ada pepetah mengatakan jangan lihat orang dari luarnya” kataku dengan senyum menahan rasa marahku dan menahan tangisku dihati karena penilaian lelaki itu begitu keji. “Sehebat apapun orang  tentunya masa lalunya juga mempunyai peran yang besar mengantarkan kita sukses. Sekuat tenaga kita ingin melupakan masa lalu, tak dapat dipungkiri peranannya dihidup kita sangat besar, jadi mana mungkin aku melupakan masa lalu aku, yang secara tidak langsung masa lalu itu adalah bagian dari masa depan kita. Bukankah  begitu ?”
Lelaki itu hanya diam menatapku. Aku tau jika aku lelaki mungkin dia sudah menonjok mukaku, sayangnya aku adalah wanita. Selain itu, aku juga adalah wanita yang perna dia cintai dan dari matanya yang bersinar saat melihatku tadi, dapat aku lihat rasa cintanya belum surut. Bukannya aku kepedean hanya saja sinar matanya sama dengan semua lelaki yang menyukaiku, saat mereka menatapku.
“Oh yah aku hampir lupa aku sangat senang bisa bertemu denganmu lagi dan juga terima kasih karena kamu mau menjadi pendengar setia keadaanku, sampai-sampai kamu sepertinya lebih tau tentang aku ketimbang yang lainnya. Sampai jumpa lain waktu lagi aku kesana dulu menyapa yang lain” kataku meninggalkan Iqbal dan temanku yang lainnya dengan tutupan percakapan yang sempurna. Aku merasa puas dapat menutupi kerapuanku didepan lelaki itu.
Hampir 3 bulan aku berada di kendari. Hatiku mulai resa. Orang tuaku mau menjodokanku dengan lelaki pilihan mereka. Itu sungguh diluar rencana hidupku. Aku tak menerima begitu saja mereka ikut campur dalam kehidupanku, terutama dalam hal pendamping hidup. Mati-matian aku tentang niat mereka.
“Ogah aku bu. Aku bisa cari sendiri pendamping hidup. Seperti orang tak laku saja di jodohkan” kataku pada ibuku yang sedang nonton sinetron.
“Assifa….Assifa yang bilang kamu tak laku siapa. Ibu hanya tak mau kamu itu salah pilih. Selama ini ayah dan ibu membiarkan kamu memutuskan semua sendiri tapi masalah pendamping hidup biarkanlah ibu yang memilihkannya, pasti memuaskan” kata ibuku menarikku duduk disampingnya lalu mengelus-ngeluls rambut panjangku yang selama ini tertutupi jilbabku jika diluar rumah.
“Pokoknya saya tidak mau dijodohkan”
“Kenapa”
Aku hanya diam.
“Kalau mau menolak yah harus punya alasan jangan asalan saja”
“Bu mana bisa aku hidup dengan lelaki yang tidak aku cintai, yang ada belum lama nikah kami bercerai, apa ibu mau seperti itu.”
Ibuku tersenyum mendengar perkataanku. “Ibu juga dulu menikah dengan ayahmu tak pake acara cinta-cintaan terlebih dulu. Kami juga dijodohkan. Buktinya sampai sekarang ayah ibumu ini masih hidup bersama, malah sudah mempunyai 3 orang anak, yang pertama kamu, adikmu Iga lalu si bungsu Anjas. Bukankah itu sudah bisa dibilang keluarga yang harmonis?” tanya ibuku.
Aku jadi kesal. Aku beranjak pergi meninggalkan ibuku masuk kedalam kamarku. Dari luar kamar aku mendengar ibuku berkata “Kalau masalah cinta bisa tumbuh saat kamu sudah menikah nanti jadi jangan takut”. Dengan jengkel aku tutup telingaku dengan bantal agar tak mendengar kata-kata ibuku lagi.
Setahun sudah aku dapat menahan paksaan orang tuaku untuk menjodohkanku dengan lelaki yang tak aku cintai. Tapi hari ini batinku terkoyak. Seperti pepetah mengatakan sekeras apapun karang dia tetap akan terkikis sedikit demi sedikit dengan ombak laut. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika ayahku jatuh pingsan karena jantungan akibat diriku. Peristiwa itu terjadi saat ayah baru pulang kerja. Tanpa memikirkan kelelahannya mengajar di kampus seharian aku langsung mencercahnya dengan amarahku. Saat itu aku benar-benar sangat benci pada orang tuaku. Mereka tau aku menentang perjodohan itu, tapi ternyata dibelakangku mereka sudah mempersiapkan acara pernikahanku ketika lelaki itu selesai pendidikannya. Pada saat aku bertengkar dengan ayahku, aku sama sekali tak mengetahui ayahku akhir-akhir ini penyakit jantungannya sering kumat.
“Apa sebenarnya mau ayah. Kalian tau sendiri aku tak mau dijodohkan lanntas mengapa masih dipaksa. Aku ini bukanlah anak kecil, tak dapatkah kalian membiarkan aku mengatur hidupku tanpa campur tangan kalian”.
Ayahku hanya diam dan masuk ke ruang kerjanya. Aku mengikutinya dengnan amarah tak terkontrol. Dibelakangnya.
“Ayah mengapa kalian tak bisa mengerti ke inginanku. Kalian hanya memikirkan kemauan kalian. Saya benar-benar tak dapat mengerti dengan jalan pikiran ayah”
Ayahku tetap diam.
“Mengapa ayah hanya diam” tanyaku dengan jengkel.
“Ayah bingung berbicara dengan lulusan prancis yang tak menutup kemungkinan kau lebih pintar dari aku”. Hanya itu yang keluar dari bibir ayahku, lalu dia tersenyum menatapku sambil melenggorkan ditempat duduknya.
            Aku merasa ayahku meremehkanku. Aku sangat benci dengan perkataan orang-orang yang selalu mengaitkan tempat sekolahku dengan diriku. Entah setan apa yang merasuki jiwaku. Pikianku menjadi kabur tak tau apa yang aku lakukan dan kata-kata yang tak pantas dari mulut seorang anak tertutur manis dari mulutku begitu saja hingga memukul telak ke ulu hati ayahku. Ayahkupun geram dan untuk pertama kalinya beliau menamparku. Air mataku terjatuh bagai hujan, rasanyna sakit hatiku lebih perih dibandingkan tamparan keras ayahku yang membuat pipihku yang putiih bersih itu merah bagaikan kepeting rebus. Seketika itu pula ayahku jatuh pingsan karena serangan jantung. Ibu dan saudara-saudaraku. Aku sangat takut dan gemetaran memeluk ayahku. Rasa bersalah sangat menghantuiku. Aku sungguh tak dapat memaafkan diriku sendiri jika sesuatu terjadi pada ayahku. Aku baru dapat berhenti menangis ketika ayahku sadar setelah satu hari tak sadarkan diri.
            Keluargaku mulai silih berganti datang menjenguk ayahku. Ibu sama sekali tak menceritakan pada mereka ayahku sakit karena aku. Memang seperti itulah keluargaku yang tak suka masalah keluarga diberi tau orang lain. Aku sangat merasa bersalah kepada ayahku, aku sangat takut masuk kedalam kamar rawat dan hanya melihat mereka dari pintu saja. Saat semua keluargaku pulang, sekitar jam 8 malam ibuku berpamitan untuk pulang sebentar mengambil baju dan mengantar kedua adikku pulang. Akhirnya aku yang disuruh menemani ayahku didalam. Aku menghampiri ayahku yang sedang tertidur dengan penuh rasa bersalah. Akupun menjatuhkan air mata saat memengang tangannya.
            “Maafkan aku ayah”
            “Kamu tak perlu meminta maaf, semua ini terjadi karena memang sudah waktunya ayahmu in sakit” katanya sambil mengelus kepalaku dengan tanganya.
Aku sangat kaget mengetahui ayahku tebangun. Rasa bersalah membuatku takut bertemu dan menatap matanya.
Aku hanya diam menangis. Sambil memeluk ayahku.
“Masalah perjodohanmu tak perlu kau pikirkan lagi, sekarang”
Dengan cepat aku memotong bicara ayahku “Masalah perjodohan itu aku patuh pada ayah”. Mendengar itu ayahku hanya tersenyum menatapku.
Ditengah obrolan kami, tiba-tiba suara dering handphone milikku berbunyi. Terpampang dilayarnya mas zulfahmi memanggil. Aku memutuskan untuk mengangkatnya, takutnya jika tak aku angkat ayahku akan bertanya mengapa tak diangkat. Saat ayahku sedang dirawat, tak ada yang tau aku bertemu dengan mas Zulfahmi si politikus itu di Rumah sakit. Tak dapat pungkiri aku memang masih memiliki rasa ketertarikan padanya dan setan berhasil masuk ke dalam pikiranku sehingga muncullah pemikiran untuk melanjutkan hubungan kami, padahal aku sudah mengatakan menerima perjodohan yang diatur ayahku. Hasilnya hubungan kami ibarat bermain petak umpet menghindari keluargaku.

            Cinta telah menerbangkanku dalam angan tanpa batas. Dunia yang dulu begitu indah kini hanya fatamorgana yang kudapat. Angin spoy-spoy basah yang kunikmati ternyata menyimpan serbuan hujan deras yang hendak menikamku. Aku terbakar cinta buta, hatiku hangus, impianku musna. Cinta tinggal puing-puing dan keindahannya berubah menjadi kenistaan yang menyisakan luka dan malu yang mendalam dihati.
            Sebagai seorang wanita yang tengah dimabuk asmara aku melupakan larangan orang tuaku untuk berhubungan dengan mas Zulfahmi. Malah secara diam-diam aku menerima lamaran lelaki itu walaupun tanpa persetujuan orang tuaku. Aku tau tindakanku ini akan menyakiti hati orang tuaku. Untuk itu minggu pagi ini aku bermaksud untuk mengatakan semuanya kepada orang tuaku. Aku tak ingin mereka tau dari orang lain mengenai hubunganku dengan lelaki itu. Tetapi, rencana hanyalah rencana dan Allah yang menentukannya. Kini Allah menentukan bahwa rahasia itu mereka tau dari seorang wanita yang usianya jauh lebih tua dariku yang datang kerumah pagi ini.
 
Bagaikan tersambar petir orang tuaku shock mendengar dari mulut wanita itu bahwa aku berhubungan dengan mas Zulfami. Aku pun tak kalah shocknya ketika wanita itu menampar wajahku dua kali dengan sangat keras. Tak sempat melampiaskan kemaran, rasa bingung yang tersirat dari wajahku karena mendapat tamparan mendadak itu terjawab sudah saat wanita itu mengatakan dia adalah istri sah mas Zulfahmi yang hendak lelaki itu ceraikan karena aku. Badai tengah berpihak kepadaku.langit pun kian mendung seolah mengerti apa yang ada di dadaku. Pagi ini hujan lebat turun membasahi bumi seolah mengerti pilunya hatiku. Kilat di luar rumah seolah menyambar keluargaku. Rasanya baru kali ini aku merasakan beban yang teramat berat. Aku sangat shock dan hampir pingsan. Jikalau tak ada ibuku yang menghalangi tangan wanita itu mungkin dia sudah menarik jilbabku dan meramas wajah yang selalu kubanggakan. Ayahku menjadi perelai perkelahian mulut antara ibuku dan wanita itu. Karena suara mereka sangat keras, para tetangga datang berhuyun-huyun kerumah namun berhasil di atasi oleh ayah dan saudara-saudaraku sehingga tidak mengetahui persis duduk permasalahn interen keluarga kami.

Tidak ada gading yang tak retak. Tidak ada jalan yang tak berkelok. Tidak ada laut yang tak bertepi. Begitu pula aku anak manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Tak ada niat untuk mengecewakan siapapun. Saat ini aku merasa semua ilmu yang kutimbah tak ada guna. Dengan susah payah Ayahku berhasil mendudukkan kami dalam satu ruangan dengan kepala dingin. Aku tak henti menangis dipelukkan ibuku. Rasanya aku ingin membunuh lelaki itu karena telah membahongiku dan hampir saja aku masuk dalam lobong siasat muslihatnya. Sejujurnya aku juga sangat bersyukur kepada Allah karena mendatangkan wanita ini kepadaku untuk membuka mataku dari cinta buta, walaupun dengan cara yang menyakitkan. Hanya saja aku tak begitu menyalahkannya karena wanita manapun tak ingin dikhiyanati.

Setelah hampir sejam kami berbicara akhirnya keputusan yang keluargaku ambil, menjamin aku dan lelalki itu tak akan ada hubungan apa-apa lagi dan ayahku sendiri yang akan memnjadi jaminannya. Rasa unek-unekku yang terus disalahkan juga telah aku luapkan tadi. Kukatakan pada mereka bahwa mas Zulfahmi sendiri yang mengatakan dia itu lajang. Wanita itu telah pulang setelah yakin bahwa keberadaanku tidaklah mengganggu posisinya sebagai istri lelaki itu. Saat wanita itu telah tiada aku pikir orang tuaku akan memerahiku, ternyata di luar dugaanku ayah ibuku memelukku dengan penuh kasih sayang. Tak dapat di pungkiri bahwa ayahku kecewa kepadaku karena telah membohonginya dengan berpura-pura didepannya selama ini aku telah putus hubungan dengan lelaki itu.

Setahun sudah pristiwa itu terjadi. Semua telah terlupakan. Aku mulai menyetuhkan kembali akal sehatku. Badai di batinku telah reda. Aku tak ingin setan merasuki jiwaku lagi, hingga membuat aku menjadi manusia yang rugi. Aku sadar ini yang terbaik bagikku. Tepat dihari ini umurku pas 24 tahun. Setelah kepulanganku ke kampung halaman 2 tahun yang lalu, aku hanya menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tak bermanfaat yang mendatangkan musibah tak terduga, hingga mengakibatkan aku lupa dengan surat panggilan kerja keperusahan asing yang ada di Jakarta. Padahal aku sudah capek-capek menyempatkan diri singgah menyetor berkasku saat pulang dari Prancis. Mungkin memang bukan rezekiku untuk mencari nafkah di tempat itu. Ternyata Allah memberikanku rezeki dengan cara menjadi dosen di fakultasku FKIP jurusan bahasa inggris. Hari ini adalah hari pertamaku mengajar di fakultasku itu.

 Malam ini aku tak bisa tidur. Aku memikirkan acara pelamaranku besok. Aku bimbang harus bersikap bagaimana terhadap calon suami pilihan orang tuaku itu jika besok dia datang. Kasur empukku ini tak terasa nyaman, aku terus membolak-balikkan badan dengan gelisah. Hari yang dinanti-nanti oleh keluarga besarku datang. Sekitar pukul 9 keluarga lelaki datang, mereka menggunakan mobil kijang sebanyak 2 kendaraan.
Saat berdiri dari tempat duduk kami untuk menyambut keluarga laki-laki yang datang, aku melihat Iqbal berada diantara rombongan menggunakan batik. Sempat kulihat wajahnya jauh lebih tampan setelah terakhir kali bertemu dengannya saat reoni dulu. Lelaki itu berjalan berdampingan dengan wanita berjilbab coklat yang menggandeng tangannya dengan mesra. Wanita itu sangat cantik dan dia jauh lebih mudah dari aku. Pastinya itu adalah istrinya karena dari info yang kudapat dari teman-teman kami, lelaki itu setelah aktif dalam kajian dan tak mungkin wanita itu pacarnya, lagian seingatku pula dari Rima bahwa Iqbal tak berpacaran sama siapa pun setelah kutolak mentah-mentah cintanya. Seakan aku bermimpi ketika ternyata lelaki yang hendak meminangku adalah orang yang jauh dari perkiraanku selama ini. Hatiku seakan mati rasa menerima kenyataan ini. Aku ingin memberontak. Mana mungkin lelaki yang jauh dari kriteria-kriteria yang selama ini aku pertahankan akan menjadi pendamping hidupku. Ini benar-benar musibah dan petaka bagiku. Tak terbayangkan aku akan menghabiskan sisi hidupku dengan lelaki seperti dia. Aku tak habis mengerti mengapa orang tuaku menyukai lelaki model dia. Padahal menurutku dia sama sekali tak mempunyai satu hal pun yang dapat dibanggakan.

Takdir Allah adalah misteri terbesar dalam hidup ini. Siapa yang sangkah Iqbal adalah suamiku. Jika tak aku pikir orang tuaku mungkin saat pelamaran dulu aku tolak mentah-mentah lelaki itu seperti halnya ku tolak cintanya saat masih kuliah dulu. Menjelang dan setelah pernikahan kami, aku merasa hidup dalam neraka. Untuk menghindari malam pertamaku dengan lelaki itu, aku sengaja saat prosesi pernikahan, aku sama sekali tak makan, akibatnya saat ini aku berbaring dirumah sakit tak berdaya karena penyakit magku kambuh kembali. Aku sangat puas melihat lelaki itu kalang kabut dan sangat khawatir melihatku sakit. Apalagi aku sama sekali tak mau makan apapun, itu semakin membuatnya bingung. Bahkan sempat bubur yang dia berikan padaku saat makan siang, aku buang kelantai tanpa sedikitpun memperdulikan perasaannya. Walaupun keberadaannya sama sekali tak aku pedulikan, lelaki itu sama sekali tidak mempermasalahkan bahkan dia terus menjagaku siang dan malam. Bukannya semakin hari aku sehat, tetapi semakin hari aku lemas dan tak berdaya. Sempat aku pikir dia akn marah ternyata dia hanya tersenyum padaku lalu mengelus kepalaku dan berkata “Nanti aku ambilkan lagi yah?”. Saat ini yang ada dipikiranku adalah mati saja ketimbang hidup dengan lelaki seperti dia, yang penting aku sudah memenuhi permintaan orang tuaku untuk menikah dengannya.

Selama dua minggu aku dirawat dirumah sakit, akhirnya aku minta pulang. Karena kondisiku yang masih lemah tentu saja dokter dan suamiku tidak mengizinkannya. Namun, sekeras apapun mereka tentu saja akhirnya karena aku ngotot hari ini aku pulang dirumah orang tuaku. Pernikahanku telah mengubah sikapku yang lemah lembut menjadi kasar, terutama kepada suamiku. Sampai detik ini aku belum kenjung sembuh. Saat aku sedang berbaring membaca buku, sempat kulilrik jam dinding menunjukkan pukul 11 malam suamiku baru pulang. Ketika dia masuk kekamar, aku berpura-pura tidur. Kurasakan dia duduk disampingku dan memegang jidatku merasakan panas badanku. Lelaki itu kemudian memegang tanganku dan mengecupnya.

“Jika karena aku, kamu sakit seperti ini, aku rela kita berpisah, asalkan kamu dapat sehat seperti dulu. Aku rela berbuat apa saja demi dirimu sekalipun rasanya berat aku lakukan dan tindakanku ini sangat dibenci Allah. Namun jika memang hanya dengan cara seperti itu dapat membuatmu kembali seperti dulu, aku rela melepaskanmu, yang penting dapat membuat tersenyum kembali”. Kata suamiku dengan suara yang sangat pelan seperti berbisik ditelingaku. “Mungkin kita memang tak jodoh”. Setelah memperbaiki letak selimutku, dia keluar kamar. Entah mengapa aku merasakan perih jauh dilubuk hatiku paling dalam saat mendengar perkataannyan tadi. Padahal bukankah itu yang aku inginkan?.

Hampir menjelang Sembilan bulan pernikahanku, aku sudah lelah mencerca bahkan menghina suamiku. Bahwkan aku capek dengan sikap kerasku terhadapnya. Aku kini mulai lunak, sikapkupun sudah kembali seperti dulu walaupun aku masih murung, namun yang paling melegakan suami dan keluargaku karena aku sudah sembuh dari sakit. Dalam kegelapan hatiku terhadap suamiku tanpa sadar, sedikit demi sedikit aku mulai mulai membuka mata dan hatiku. Apalagi setelah mendengar dari polisi, bekas pacarku dulu, kini seorang buronan yang tengah diburu polisi karena kasus karupsi. Untung saja aku bukan lagi pacarnya ataupun istrinya sehingga tidak ikut bertanggung jawab atas tindakannya.

Aku mulai mengakui lelaki pilihan orang tuaku adalah lelaki terbaik yang ada didunia. Dia adalah mutiara yang tak ternilai harganya. Mutiara yang semakin digosok mutiara itu semakin memancarkan cahayanya. Sembilan bulan lamanya aku mencampakannya bahkan tak menganggapnya ada dalam hidupku, tapi tak pernah menunjukkan sikap frustasi dan jenuh. Begitu sabar dan tetap tersenyum menghadapiku yang tak pernah tersenyum kepadanya. Hal yang paling membuatku kagum selama ini kepadanya adalah dia tak pernah marah kepadaku. Pribadinya yang dewasa telah meluluhkanku. Kini aku sangat mengaguminya juga berterima kasih kepada orang tuaku.
Untuk pertama kalinya, selam pernikahan kami saat suamiku sedang pergi sholat subuh. Setelah aku sholat subuh, aku menyetrikan baju kantornya. Tak lupa akupun memasakkan bubur kajang ijo untuknya. Seluruh isi rumahku tak mempercayai perubahan terbesarku ini. Saat suamiku hendak berangkat kekantor, aku masuk kekamar lalu menghampirinya dan mengancingkan bajunya dengan rapi. Untuk pertama kalinya aku tersenyum padanya.
“Semoga kamu selalu berada dalam lindungan Allah SWT” kataku dengan suara yang lembut kepadanya. “Terima kasih atas sikapmu selama ini kepadaku, aku sangat bahagia ketika kamu…..” belum sempat aku melanjutkan perkataanku, suamiku sudah memotongnya.
“Aku sangat senang melihatmu seperti ini, setidaknya sebelum benar-benar kita berpisah, aku mendapatkan kenangan yang paling indah dalam hidupku”
Aku terdiam. Ingatanku melambung saat suamiku berkata sesuatu yang membuat hatiku perih saat aku sedang sakit dulu.
“Jika kamu mau saat ini aku dapat menalakmu dan masalah keluarga kita, biarlah aku yang menjelaskan pada mereka. Kamu tak perlu khawatirkan itu”.
“Tapi aku”
“Sudahlah semua akan baik-baik saja. Aku rela melepaskanmu” katanya sambil meletakkan jari manisnya kebibirku, dia pun melerik arlojinya.
“Aku harus pergi sekarang” katanya setelah mengucapkan salam dia lalu pergi tanpa membiarkan aku berkata apapun padanya.
Hatiku begitu perih. Laksana beribu tombak yang menghujamnya. Aku pun menangis sejadi-jadinya di atas tempat tidur. ‘Mana mungkin ini terjadi padaku, setelah aku mulai mencintainya, dia akan pergi meninggalkan aku’. Pikirku. Ditengah kegundahan hatiku, diri luar kamarku ibuku mengetok-ngetok pintu kamar dengan keras, hingga mengagetkan aku. Belum sempat berkata apa-apa, ibuku menjelaskan bahwa suamiku tabrakan disimpangan dekat rumah. Saat sampai di tempat kejadian. Aku melihat suamiku berbaring dibopongan orang yang mau memasukkannya kedalam mobil angkot. Aku berlari secepatnya, hingga terkadang aku terjatuh dijalan raya. Akhirnya aku bisa memeluk suamiku yang penuh darah.
“Aku mohon sadarlah, aku tak ingin kamu pergi meninggalkan aku” kataku ditengah hujan air mataku dan kecepatan laju angkot yang membawanya kerumah sakit. Sempat tersirat dibenakku bahwa Allah tak memberiku waktu untuk menebus dosaku yang begitu banyak kepadanya. Saat sampai dirumah sakit hampir dua jam dia berada di ruang UGD. Rasanya aku tak mampu berpijak lagi saat kudengar kata dokter ternyata suamiku keadaannya sangat kritis. Pandanganku menjadi kabur. Aku berusaha keras untuk bertahan, namun rasanya semakin gelap gulita!.
Satu hari satu malam aku tak sadarkan diri. Ketika aku sadar, seluruh keluargaku ada disampingku. Kecuali suamiku. “Ibu! iqbal mana? Dia baik-baik sajakan”tanyaku dengan suara yang sangat lemah. Dipelepuk mataku air mataku terus berderai.
“Dia sudah tenang nak, kamu tak perlu mengkhawatirkannya. Sekarang dia sudah beristirahat” kata ibuku memaksakan senyumannya padaku.
“Syukurlah” kataku dengan legah. Namun aku mulai menegerutkan alisku. “Tapi mengapa kalian semua ada disini? Siapa yang menjaga Iqbal? Dia pasti kesepian? Jika ada Sesutu yang dia butuhkan siapa yang akan membantunya?” kataku panik. “Tenanglah nak! Sekarang dia sudah sangat tenang dan diapun sudah ada yang menemaninya. Yang penting sekarang kamu sembuh” Kata ayahku. Aku melihat saudara-saudaraku menangis melihatku. Aku mulai panik. Entah aku merasa ada Sesuatu yang mereka sembunyikan dariku. Aku pun bangkit dari tempat tidur. Sekeras apapun mereka melarangku, bahkan sempat suster mau menyuntikkan obat penenang padaku namun berhasil aku jatuhkan alat suntiknya.
            Entah suamiku ada dikamar apa. Satu persatu aku masuki. Tak aku temukan. Ibuku datang memelukku dari belakang dan menghentikan langkahku. “Berhentilah nak! Suamimu tak ada disini?”
“Lalu dimana Bu? Apakah ibu memindahkannya ke rumah sakit lain? Kalau begitu, ayo kita kesana”
“Dia tak ada di rumah sakit manapun karena suamimu sudah meninggal”. Terasa tersambar petir akupun langsung jatuh pingsan mendengar kata Ayahku.
            Dua tahun setelah meninggalnya suamiku. Aku tak menikah sama siapapun dan tak ingin menikah lagi. Setahun lalu, aku hidup dengan penuh rasa bersalah bahkan sama dengan mayat hidup. Namun kini tidak. Aku selalu merasakan suamiku ada disampingku kapanpun aku membutuhkannya saat sedih dan senang, dia selalu ada menguatkanku menghadapi kehidupan ini. Aku tak peduli orang mengatakan aku hidup dalam imajinasi tapi itulah yang aku rasa. Tiap mimpi-mimpiku pun aku selalu bertemu dengannya. Aku kini pasrah dengan takdir Allah. Manusia boleh saja berencana, besok mau apa. Tapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan apa yang direncanakan itu sukses atau sesuai harapan. Hari esok atau masa depan adalah rahasia illahi, tak seorangpun tau, hanya Allah SWT. Yang maha mengetahui segalanya. {THE AND}

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar